Rehat : Cerita Kehidupan

Desember 29, 2008

(1)

Inilah Hari Yang Membahagiakan

Ketika Harapan Menjadi Kenyataan

10 Tahun Sudah Kutingalkan Rumah Kontrakan

Berganti Rumah Cicilan

Tak Terasa Semua Beban Itu Sirna

Ketika Cucuran Keringat Sebentar Lagi Berganti Sertifikat Rumah

Anak-Anak Yang Mulai Dewasa

Keteguhan Istri Dalam Susah Dan Senang

Menjadi Pelengkap Kebahagiaan Ini.

Kulihat Kanan Kiri Rumah

Tak Satupun Mereka Membuat Kecewa

Semua Ada Dalam Kebersamaan Dan Kekompakan

Lingkungan Yang Saling Tolong Menolong.

Lihat Slang Air Yang Terbentang Dari Rumah Kerumah

Ketika Satu Rumah Kekeringan

Rumah Yang Lain Membantu

Lihat Ketika Tetangga Sebelah Terkena Musibah

Semua Orang Peduli

Inilah Lingkungan Yang Tak Terlalu Bersahaja

Tapi Cukup Baik Untuk Kehidupan

Puri Cipageran Indah 2 Rw 21

(2)

Puri Cipageran Indah 2 Tempat Tinggalku,

Jauh Dari Hiruk Pikuk Kendaraan Atau Gemuruh Pabrik,

Diapit Dua Gunung Utara Dan Selatan ,

Jalan PANORAMA Adalah Sebuah Nama Yang Lahir Dari Keindahan Wilayah Rw21

Kemudian Kata Imam Ali A.S ;

” Sebelum Engkau Memilih Rumah Yang Engkau Diami, Maka Lihatlah Siapa Yang Akan Jadi Calon Tetanggamu.”

Puri Cipageran Indah 2 RW 21,

Warganya Memiliki Kepedulian Sosial , Kebersamaan Dan Kekeluargaan

Kita Melihat Betapa Pasilitas Lingkungan Yang Serba Ada, Masjid , Madrasah Dan Kantor RW Yang Cukup Megah,

Lapangan Olah Raga Yang Disiapkan Sedemikian Rupa,

Belum Lagi Kegiatan Kemasyarakatan Yang Aktif,

Lihatlah Berbagai Prestasi Kegiatan .

Saat Tergesa-Gesa Ingin Merebus Mie Instan,

Kita Bisa Langsung Ambil Air Dari Kran, Rebuslah.

Betapa Jernih Dan Melimpahnya Air ,

Entah Dimana Lagi Kudapat Tempat Seperti Ini

Sehingga Ku Ingin Rumahku Selamanya.

Wassalam

(By Keluarga Bahagia : Muhammad Jaetun Al-Ghifary)


Hikmah

Desember 29, 2008

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

(Q,S. Al Baqarah : 277)


Makna Simbolis Hijrah

Desember 26, 2008

Oleh : ASEP SALAHUDIN **

Memasuki bulan Muharam 1430, memori kolektif kita diingatkan tentang kejadian monumental dalam penggalan sejarah umat Islam yaitu peristiwa hijrah Rasulullah saw. Umar bin Khatab, khalifah yang disebut-sebut H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers dalam Shoter Encyclopedia of Islam sebagai pembangun imperium Arab legendaris menetapkan hijrah Nabi sebagai awal penanggalan kalender Islam walaupun hijrahnya terjadi pada 27 Safar hingga Rasulullah sampai di Quba pada Senin, 8 Rabiul Awal, dan masuk ke Madinah pada 12 Rabiul Awal/27 September 622 M. Tahun ini hitungan hijriah telah menginjak 1430. Hampir bersamaan dengan peralihan tahun baru Masehi 2009.

Detik-detik hijrah Nabi ditemani kawan setianya Abu Bakar didokumentasikan Alquran, di antaranya dalam Surat 9: 40. Dengan dramatis juga ditulis sejarawan sirah nabawi generasi pertama dalam Sirah Ibnu Ishaq (hal. 221-223), Sirah Ibnu Hisyam (jilid 2: 89-92), Tarikh al-umam Wa al-Muluk at-Thabari (jilid 2: 98-100), at-Thabaqat al-Kubra Ibnu Sa`ad (jilid 1: 175-177), atau Shahih Bukhari (jilid 1 : 552-554).

Wajah Madinah

Hijrahnya Nabi ke Madinah (dahulu Yatsrib) adalah satu pilihan strategis dalam rangka membangun kemungkinan-kemungkinan baru demi tergelarnya nilai-nilai kemanusiaan dan kejujuran ketika masyarakat Mekah dengan pongah mempertontonkan sistem yang zalim, ekonomi dikelola dengan cara-cara primitif, politik berporos pada semangat perkauman, status perempuan dihinakan, dan budaya berjangkar pada landasan yang rapuh materialisme-kebendaan. Hijrah sebagai siasat menghadirkan Islam dalam wajah–istilah Jurgen Habermas–yang rasional dan teleologis bagi komunikasi praksis di ruang publik.

Pilihan Nabi terbukti di kemudian hari bahkan dalam sejarah kenabian tidak ada hijrah yang paling gemilang kecuali hijrah yang dilakukan Muhammad saw. Bagaimana tidak, Islam yang tadinya bergerak di sektor kultural, ketika di Madinah tampil dengan wajah struktural. Islam menjadi agama yang tidak hanya berbicara persoalan privat-ritual namun juga publik-sosial. Muhammad saw. hadir dengan dua sisi yang sangat elok: sebagai nabi sekaligus politisi santun yang telah mampu berpolitik secara etis.

Nabi tak hanya mengajarkan kekhususan ritual, tapi juga memberikan teladan ihwal cara mengelola pemerintahan yang bersih, mengolah keragaman agar tidak liar tetapi menjadi kekuatan positif untuk bersama-sama membangun Madinah yang baik. Piagam Madinah adalah dokumen penting yang merekam jejak-jejak kenegarawanan Nabi. Dalam piagam yang disebut Haikal sebagai “watsiqah siyasiyyah” atau dokumen politik itu diteguhkan, di antaranya (1) menjamin kebebasan beragama; (2) larangan saling mengganggu satu sama lain; (3) harus membantu satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari; dan 4) larangan melakukan kejahatan.

Di tangan Nabi saw., terutama lagi di tangan para penggantinya (khulafaur rasyidin) pascahijrah Islam menjadi ikon baru peradaban manusia di tengah peradaban materialis Romawi dan Byzantium. Islam menjadi agama yang penuh daya pikat karena tema yang diangkat tidak hanya menyentuh fitrah kemanusiaan tetapi juga berbasis pada kepentingan masyarakat. Penghormatan hak asasi manusia, kesetaraan, keadilan sosial, pelestarian lingkungan, pembelaan terhadap perempuan, pembebasan kaum tertindas, menjadi tema utama.

Kemenangan Nabi semakin sempurna terutama ketika membebaskan Mekah. Futuh Mekah. Lebih elok lagi dalam peristiwa ini tidak ada darah yang menetes. Nabi dengan mengagumkan memberikan permaafan kepada masyarakat dan tokoh Quraisy yang dahulu meneror bahkan hendak melenyapkan nyawanya. Nabi bersabda, “Kebenaran telah tiba, dan kebatilan telah punah,” sambil melemparkan satu pimpinan arca yang ada di seputar Kabah sebagai simpul khatamnya sistem menindas yang menjebak masyarakat Mekah dalam kehidupan yang banal.

Konteks kekinian

Tentu persoalan hijrah tidak hanya berkaitan dengan masa lalu, tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana setiap kita menjadi bagian dari orang-orang muhajirin dalam konteks mutakhir. Hijrah sekarang tampaknya bukan lagi pilihan melainkan suatu keharusan ketika kita justru dihadapkan pada suasana kebangsaan yang mirip dengan fase kehidupan Mekah prahijrah.

Kita adalah bangsa dengan kekayaan alam yang tidak terhingga, namun penghuninya menjadi masyarakat dengan populasi kemiskinan terbesar di dunia sebagaimana laporan Bank Dunia, negara dengan tingkat korupsi tertinggi, politisinya menjadi–istilah Nietszhe–kerumunan manusia yang lebih mengerikan daripada monster sekalipun.

Memang tidak ada Latta, Uzza, Manat, dan Hubal, namun itu sekarang beralih nama menjadi perut, jabatan, dan kekuasaan, dengan tingkat ketaatan yang tidak kalah dengan masyarakat Mekah kepada Sang Latta. Bukankah atas nama perut dan kekuasaan seseorang kerap menghalalkan segala cara. Sudah barang tentu hijrah tidak mesti bersifat fisik, tetapi hijrah mental yang didefinisikan Ali Syariati sebagai hijrah nalar dan sosial menuju hidup yang lebih baik.

Dalam konteks keislaman yang lebih luas lagi, hijrah sebagai transformasi sosial menjadi suatu keniscayaan tatkala negara-negara Muslim nyaris menjadi kawasan yang tertinggal dalam segala bidang.

Alhasil, sisi penting momentum hijrah yang selalu kita peringati tiap tahun terletak dari sejauh mana spirit hijrah itu mampu mengubah wajah bangsa menjadi lebih berkeadaban. Inilah makna simbolis dibalik hijrah.***

** Penulis, aktif di DMI dan MUI Provinsi Jawa Barat, mahasiswa program doktor Unpad Bandung.

Jum’at, 26 Desember 2008, · PR Online


HARI RAYA BESAR

Desember 22, 2008

Oleh : A. Mustofa Bisri

Idul Adha atau Hari Raya Kurban disebut juga Hari Raya Haji dan Hari Raya Besar. Hari tanggal 10 Dzul Hijjah inilah puncak pelaksanaan ibadah haji, jama’ah haji dari seluruh dunia, setelah wuquf di Arafah dan menginap di Muzdalifah, kemudian melempar jumrah Aqabah dan melaksanakan penyembelihan ternak kurban di Mina. Sementara kaum muslimin yang tidak sedang berhaji, melakukan sembahyang Ied dan menyembelih kurban.

Setiap kali datang Hari Raya Besar, Idul Adha, kita selalu diingatkan kepada kisah nabi Ibrahim dan puteranya, nabi Ismail.

Seperti kita ketahui; lama sekali nabi Ibrahim ingin mempunyai anak. dan baru kesampaian keinginannya itu setelah tua renta. Kita bisa membayangkan betapa bahagia dan senangnya nabi Ibrahim ketika mendapat anugerah seorang anak yang istimewa, cakap, dan alim. Seorang anak yang tidak hanya dapat dijadikan pengisi kekosongan, tapi lebih dari itu dapat dijadikan ‘tangan kanan’ yang selalu mendampingi sang ayah dalam berjuang dan kiprah kemasyarakatannya.

Tapi, bayangkan!, tiba-tiba datang perintah dari Allah agar nabi Ibrahim menyembelih buah putera hatinya itu. Mengenai perintah Tuhannya ini, nabi Ibrahim tanpa sedikit pun keraguan –meski kedengaran mengharukan– bertanya kepada puteranya, “Bagaimana pendapatmu, anakku?” Dan hebatnya, sang putera menjawab dengan tidak kalah mantap, “Ayah, laksanakan saja apa yang diperintahkan kepada ayah. Ayah akan melihat saya insyaAllah termasuk orang-orang yang tabah.”

Apakah yang lebih berharga dari anak dan nyawa sendiri? Sebagai bukti ketaatan dan kecintaannya kepada Tuhannya, nabi Ibrahim bersedia dengan ikhlas mengorbankan anaknya sendiri yang nota bene sudah lama sekali diidamkannya; nabi Ismail bersedia dengan ikhlas mengorbankan nyawanya.

Kemudian, seperti semua sudah tahu, karena ketulusan mereka, sang anak yang sudah pasrah disembelih, diganti dengan seekor domba.

Suatu teladan yang ‘ekstrem’ tentang ketulusan pengorbanan kekasih bagi kekasihnya. Pengorbanan pemuja bagi pujaannya. Pengorbanan dan loyalitas hamba kepada Tuhannya.  Teladan pengorbanan kedua hamba pilihan itu akan semakin tampak ‘ekstrem’ bila kita pandang sekarang. Pengorbanan mereka berdua bukan saja membuktikan betapa luar biasanya kecintaan dan ketaatan mereka kepada Tuhan mereka. Tapi sebelum itu, membuktikan tingkat pengenalan mereka terhadap Tuhan atas nama siapa pengorbanan itu diikhlaskan.

Dimulai dari pengenalan, lalu sayang dan cinta, kemudian ketulusan berkorban. Bila merujuk ungkapan klise, “Tak kenal maka tak sayang”, maka bisa dilanjutkan dengan ungkapan, “Tak sayang maka tak sudi berkorban.”

Orang yang tidak mengenal tanah-air-nya, misalnya, mungkin karena tidak merasa pernah makan dari hasil tanah yang dipijaknya dan merasa tidak pernah meminum airnya, boleh jadi tidak sayang kepada tanah-air-nya itu. Maka jangan bayangkan orang tersebut mau berkorban untuk tanah-air-nya. Merusaknya pun mungkin tidak membuat nuraninya terusik.

Kalau kita kembali kepada kisah nabi Ibrahim dan nabi Ismail yang setiap Idul Adha kita kenang, maka kita bisa mengatakan bahwa pengenalan yang sangat dari mereka berdua terhadap Tuhan merekalah yang membuat mereka sangat menyintai dan memujaNya, sehingga rela berkorban apa saja demi mendapatkan ridhaNya.

Demikianlah; besar-kecilnya kerelaan berkorban tergantung pada besar-kecinya pengenalan dan kecintaan.

Nabi Ibrahim dan nabi Ismail sangat mengenal Allah dan tahu persis apa saja yang membuat Tuhan mereka itu ridha dan apa saja yang membuatNya murka. Maka pengorbanan mereka pun tidak pernah sia-sia. Jadi memang tidak bisa hanya bermodal semangat mendapat ridha Allah, tanpa mengenalNya dan tanpa mengetahui apa saja yang membuatNya ridha dan apa saja yang membuatnya murka. Wallahu a’lam.

Selamat Idul Adha! Selamat Berkurban!


Pengelolaan Ibadah Qurban Warga-21

Desember 5, 2008

Assalamu ‘alaikum wr. wb.,

Panitia ‘Iedul Adha 1429 H – DKM Masjid Jami Al-Hikmah RW-21 ; menerima titipan pelaksanaan ibadah hewan qurban Warga untuk dikelola sebagaimana mestinya.

Untuk Warga yang tahun ini belum sempat menunaikan Ibadah Hewan Qurban, dapat berpartisipasi memberikan infak/shodaqoh dalam rangka ikut men-syi’ar-kan bulan agung tersebut…

Silakan hubungi langsung Panitia pengelola di Masjid Al-Hikmah atau menghubungi Para Ketua RT masing-masing yang bertindak sebagai Koordinator penerimaan dan pendistribusian.

Terimakasih atas perhatian Warga, semoga pelaksanaan ibadah ‘iedul adha tahun ini, semakin menambah taqorrub Kita kepada Alloh SWT. , Amin. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Ketua Panitia Pelaksana ‘Iedul Adha 1429 H,

Bambang Al-Kabul.


TK / TPA “Nurul Hikmah” – RW 21

November 18, 2008

Assalamu ‘alaikum wr. wb.,

Untuk meningkatkat kualitas putra-putri kita memiliki sumber daya terbaharukan melalui pendidikan, membekali mereka dengan dasar-dasar ilmu agama sejak dini, melek terhadap baca – tulis Al-Qur’an dan menyiapkan mereka agar tumbuh menjadi putra-putri yang soleh / solehah, pengurus Rukun Warga 21 menyediakan Taman Kanak-kanak / Taman Pendidikan Al-qur’an methode IQRA “TK / TPA Nurul Hikmah”.

Mari daftarkan putra-putri kita….

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.,

Seksi Pendidikan dan Agama RW 21 / Ka. TK – TPA Nurul Hikmah,

Zaetun Al-Munawwar, S.Ag.


Analisis Halal Bi Halal

Oktober 17, 2008

Analisis Halal Bi Halal

Oleh : Ka. RW 21

“Halal bi halal” dua kata berangkai yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri, adalah satu dari istilah-istilah “keagamaan” yang hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Istilah tersebut seringkali menimbulkan tanda tanya tentang maknanya, bahkan kebenaranya dalam segi bahasa, walaupun semua pihak menyadari tujuannya adalah menciptakan keharmonisan antara sesama.

Hemat saya paling tidak ada dua makna yang dapat dikemukakan menyangkut pengertian istilah tersebut, yang ditinjau dari dua pandangan. Yaitu, pertama, bertitik tolak dari pandangan hukum Islam dan kedua berpijak pada arti kebahasaan.

Menurut pandangan pertama ; dari segi hukum, kata “halal” biasanya dihadapkan dengan kata “haram”.. Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga pelanggarannya berakibat dosa dan mengundang siksa, demikian kata para pakar hukum. Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa. Jika demikian “halal bi halal” adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.

Pengertian seperti yang dikemukakan di atas pada hakikatnya belum menunjang tujuan keharmonisan hubungan, karena dalam bagian “halal” terdapat sesuatu yang “makruh” atau yang tidak disenangi dan sebaiknya tidak dikerjakan. Pemutusan hubungan (suami-istri, misalnya) merupakan sesuatu yang halal tapi paling dibenci Tuhan. Atas dasar itu, ada baiknya makna “halal” – “bihalal” tidak dikaitkan dengan pengertian hukum.

Menurut pandangan kedua ; dari segi bahasa. Akar kata “halal” yang kemudian membentuk berbagai bentukan kata, mempunyai arti yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya.

Makna-makna yang diciptakan oleh bentukan-bentukan tersebut, antara lain, berarti “menyelesaikan problem”, “meluruskan benang kusut”, “melepaskan ikatan”, dan “mencairkan yang beku”.

Jika demikian, ber-“halal bi halal” merupakan suatu bentuk aktivitas yang mengantarkan para pelakunya untuk meluruskan benang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggi, serta menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghalangi terjalinnya keharmonisan hubungan.

Boleh jadi hubungan yang dingin, keruh, dan kusut tidak ditimbulkan oleh sifat yang haram. Ia menjadi begitu karena Anda lama tidak berkunjung kepada seseorang, atau ada sikap adil yang Anda ambil namun menyakitkan orang lain, atau timbul keretakan hubungan dari kesalah pahaman akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak disengaja. Kesemuanya ini, tidak haram menurut pandangan hukum, namun perlu diselesaikan secara baik ; yang beku dihangantkan, yang kusut diluruskan, dan yang mengikat dilepaskan.

Itulah makna serta substansi “halal” “bi halal”, atau jika istilah tersebut enggan Anda gunakan, katakanlah bahwa itu merupakan hakikat Idul Fitri, sehingga semakin banyak dan seringnya Anda mengulurkan tangan dan melapangkan dada, dan semakin parah luka hati yang Anda obati dengan memaafkan, maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan Anda terhadap hakikat “halal bihalal”.

Bentuknya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam. (Sumber : Lentera Hati, Prof. Dr. Quraish Shihab).


Halal bi halal Warga 21

Oktober 17, 2008

Ass wr wb.,

Paska ‘Iedul Fitri 1429 H, keluarga besar Warga 21 akan melaksanakan acara Halal bi halal / Silaturahmi Warga pada :

Hari / tgl. : Minggu, 19 Oktober 2008

Waktu : Pkl. 09.30 S/D Selesai

Tempat : Halaman Madrasah Nurul Hikmah – RW 21

Susunan Acara Pokok :  Siraman Rohani / Uraian Hikmah Halal bi halal / Silaturahmi, oleh Bpk. Ust. A. Salim Surayudha (Direktur Pondok Pesantren ‘Khozanaturrohmah” – Garut) dan Musyafahah. Dimeriahkan pula oleh penampilan Nasyid dan Pameran Bunga (Pecinta Lingkungan warga 21).

Mohon kehadiran seluruh undangan Warga 21 untuk hadir pada acara tersebut. Terimakasih.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.,

Ka. RW 21


Ucapan : Selamat ‘Iedul Fithri 1429 H.

September 26, 2008

Assalamu ‘alaikum wr. wb.,

Setelah kita jalani rangkaian ibadah shaum, menunaikan zakat fitrah, dan kita saling berma’afan ; semoga kita digolongkan sebagai orang yang bertaqwa , orang yang mencintai fuqoro , serta dibebaskan dari segala dosa.

Dalam kesempatan ini, mohon ma’af lahir dan bathin ; Taqobbalallohuminna wa minkum taqobbal ya kariem, shiyamana wa shiyamakum ; Minal ‘aidz-dzien wal faa ‘idz-idzin, wa aamana antum bil khoer… Selamat merayakan ‘iedul fitri 1429 H, hari kemenangan bagi yang menunaikan ibadat shaum..

Wass.,

Kel. Besar Warga 21


Misteri Ramadhan : Kapan Lailatul Qadar?

September 13, 2008

Secara qath-i ; Memang tidak ada kepastian mengenai kapan datangnya Lailatul Qadar, suatu malam yang dikisahkan dalam Al-Qur’an “lebih baik dari seribu bulan”.

Ada Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, meyebutkan bahwa Nabi pernah ditanya tentang Lailatul Qadar. Beliau menjawab: “Lailatul Qadar ada pada setiap bulan Ramadhan.” (HR Abu Dawud).

Namun menurut hadits lainnya yang diriwayatkan Aisyah, Nabi Muhammad SAW memerintahkan: “Carilah Lailatul Qadar itu pada tanggal gasal dari sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan”. (HR. Bukhari).

Dan menurut pendapat yang lain, Lailatul Qadal itu terjadi pada 17 Ramadhan, 21 Ramadhan, 24 Ramadhan, tanggal gasal pada 10 akhir Ramadhan, Dan lain-lain.

Paling tidak ada tiga keutamaan yang digambarkan peristiwa lailatul qodar :

Pertama, orang yang beribadah pada malam itu bagaikan beribadah selama 1000 bulan, 83 tahun empat bulan. Diriwayatkan, ini menjadi penggembira umat Nabi Muhammad SAW yang berumur lebih pendek dibanding umat nabi-nabi terdahulu.

Kedua, para malaikat pun turun ke bumi, mengucapakan salam kesejahteraan kepada orang-orang yang beriman.

Dan ketiga, malam itu penuh keberkahan hingga terbit fajar.

Imam Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda : “Siapa beribadah di malam Lailatul Qadar dengan rasa iman dan mengharap pahala dari Allah, ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.”

Diantara hikmah tidak diberitahukannya tanggal yang pasti tentang Lailatul Qadar adalah untuk memotivasi umat agar terus beribadah, mencari rahmat dan ridha Allah kapan saja dan dimana saja, tanpa harus terpaku pada satu hari saja. Jika malam Lailatul Qadar ini diberitahukan tanggal kepastiannya, maka orang akan beribadah sebanyak-banyaknya hanya pada tanggal tersebut dan tidak giat lagi beribadah ketika tanggal tersebut sudah lewat. Umat Islam hanya ditunjukkan tanda-tanda kehadirannya.

Di antara tanda-tanda datangnya Lailatul Qadar adalah :

Pada hari itu matahari bersinar tidak terlalu panas dengan cuaca sangat sejuk, sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim. Pada malam harinya langit nampak bersih, tidak nampak awan sedikit pun, suasana tenang dan sunyi, tidak dingin dan tidak panas. Hal ini berdasarkan riwayat, Imam Ahmad. Dalam Mu’jam at-Thabari al-Kabir disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Malam Lailatul Qadar itu langit bersih, udara tidak dingin atau panas, langit tidak berawan, tidak ada hujan, bintang tidak nampak dan pada siang harinya matahari bersinar tidak begitu panas.”

Amalan-amalan untuk Mendapatkan Lailatul Qadar :

Para ulama kita mengajarkan, agar mendapatkan keutamaan Lailatul Qadar, maka hendaknya kita memperbanyak ibadah selama bulan Ramadhan, diantaranya :

  • Senantiasa shalat fardhu lima waktu berjama’ah.
  • Mendirikan qiyamur ramdhan / qiyamul lail shalat malam atau (shalat tarawih, tahajud, dll)
  • Membaca Al-Qur’an sebanyak-banyaknya dengan tartil.
  • Memperbanyak dzikir, istighfar dan berdoa.
  • Memperbanyak membaca Do’a :  Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Dzat Maha Pengampun lagi Maha Pemurah, senang pada ampunan, maka ampunilah kami, wahai Dzat yang Maha Pemurah”.