Oleh : ASEP SALAHUDIN **
Memasuki bulan Muharam 1430, memori kolektif kita diingatkan tentang kejadian monumental dalam penggalan sejarah umat Islam yaitu peristiwa hijrah Rasulullah saw. Umar bin Khatab, khalifah yang disebut-sebut H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers dalam Shoter Encyclopedia of Islam sebagai pembangun imperium Arab legendaris menetapkan hijrah Nabi sebagai awal penanggalan kalender Islam walaupun hijrahnya terjadi pada 27 Safar hingga Rasulullah sampai di Quba pada Senin, 8 Rabiul Awal, dan masuk ke Madinah pada 12 Rabiul Awal/27 September 622 M. Tahun ini hitungan hijriah telah menginjak 1430. Hampir bersamaan dengan peralihan tahun baru Masehi 2009.
Detik-detik hijrah Nabi ditemani kawan setianya Abu Bakar didokumentasikan Alquran, di antaranya dalam Surat 9: 40. Dengan dramatis juga ditulis sejarawan sirah nabawi generasi pertama dalam Sirah Ibnu Ishaq (hal. 221-223), Sirah Ibnu Hisyam (jilid 2: 89-92), Tarikh al-umam Wa al-Muluk at-Thabari (jilid 2: 98-100), at-Thabaqat al-Kubra Ibnu Sa`ad (jilid 1: 175-177), atau Shahih Bukhari (jilid 1 : 552-554).
Wajah Madinah
Hijrahnya Nabi ke Madinah (dahulu Yatsrib) adalah satu pilihan strategis dalam rangka membangun kemungkinan-kemungkinan baru demi tergelarnya nilai-nilai kemanusiaan dan kejujuran ketika masyarakat Mekah dengan pongah mempertontonkan sistem yang zalim, ekonomi dikelola dengan cara-cara primitif, politik berporos pada semangat perkauman, status perempuan dihinakan, dan budaya berjangkar pada landasan yang rapuh materialisme-kebendaan. Hijrah sebagai siasat menghadirkan Islam dalam wajah–istilah Jurgen Habermas–yang rasional dan teleologis bagi komunikasi praksis di ruang publik.
Pilihan Nabi terbukti di kemudian hari bahkan dalam sejarah kenabian tidak ada hijrah yang paling gemilang kecuali hijrah yang dilakukan Muhammad saw. Bagaimana tidak, Islam yang tadinya bergerak di sektor kultural, ketika di Madinah tampil dengan wajah struktural. Islam menjadi agama yang tidak hanya berbicara persoalan privat-ritual namun juga publik-sosial. Muhammad saw. hadir dengan dua sisi yang sangat elok: sebagai nabi sekaligus politisi santun yang telah mampu berpolitik secara etis.
Nabi tak hanya mengajarkan kekhususan ritual, tapi juga memberikan teladan ihwal cara mengelola pemerintahan yang bersih, mengolah keragaman agar tidak liar tetapi menjadi kekuatan positif untuk bersama-sama membangun Madinah yang baik. Piagam Madinah adalah dokumen penting yang merekam jejak-jejak kenegarawanan Nabi. Dalam piagam yang disebut Haikal sebagai “watsiqah siyasiyyah” atau dokumen politik itu diteguhkan, di antaranya (1) menjamin kebebasan beragama; (2) larangan saling mengganggu satu sama lain; (3) harus membantu satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari; dan 4) larangan melakukan kejahatan.
Di tangan Nabi saw., terutama lagi di tangan para penggantinya (khulafaur rasyidin) pascahijrah Islam menjadi ikon baru peradaban manusia di tengah peradaban materialis Romawi dan Byzantium. Islam menjadi agama yang penuh daya pikat karena tema yang diangkat tidak hanya menyentuh fitrah kemanusiaan tetapi juga berbasis pada kepentingan masyarakat. Penghormatan hak asasi manusia, kesetaraan, keadilan sosial, pelestarian lingkungan, pembelaan terhadap perempuan, pembebasan kaum tertindas, menjadi tema utama.
Kemenangan Nabi semakin sempurna terutama ketika membebaskan Mekah. Futuh Mekah. Lebih elok lagi dalam peristiwa ini tidak ada darah yang menetes. Nabi dengan mengagumkan memberikan permaafan kepada masyarakat dan tokoh Quraisy yang dahulu meneror bahkan hendak melenyapkan nyawanya. Nabi bersabda, “Kebenaran telah tiba, dan kebatilan telah punah,” sambil melemparkan satu pimpinan arca yang ada di seputar Kabah sebagai simpul khatamnya sistem menindas yang menjebak masyarakat Mekah dalam kehidupan yang banal.
Konteks kekinian
Tentu persoalan hijrah tidak hanya berkaitan dengan masa lalu, tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana setiap kita menjadi bagian dari orang-orang muhajirin dalam konteks mutakhir. Hijrah sekarang tampaknya bukan lagi pilihan melainkan suatu keharusan ketika kita justru dihadapkan pada suasana kebangsaan yang mirip dengan fase kehidupan Mekah prahijrah.
Kita adalah bangsa dengan kekayaan alam yang tidak terhingga, namun penghuninya menjadi masyarakat dengan populasi kemiskinan terbesar di dunia sebagaimana laporan Bank Dunia, negara dengan tingkat korupsi tertinggi, politisinya menjadi–istilah Nietszhe–kerumunan manusia yang lebih mengerikan daripada monster sekalipun.
Memang tidak ada Latta, Uzza, Manat, dan Hubal, namun itu sekarang beralih nama menjadi perut, jabatan, dan kekuasaan, dengan tingkat ketaatan yang tidak kalah dengan masyarakat Mekah kepada Sang Latta. Bukankah atas nama perut dan kekuasaan seseorang kerap menghalalkan segala cara. Sudah barang tentu hijrah tidak mesti bersifat fisik, tetapi hijrah mental yang didefinisikan Ali Syariati sebagai hijrah nalar dan sosial menuju hidup yang lebih baik.
Dalam konteks keislaman yang lebih luas lagi, hijrah sebagai transformasi sosial menjadi suatu keniscayaan tatkala negara-negara Muslim nyaris menjadi kawasan yang tertinggal dalam segala bidang.
Alhasil, sisi penting momentum hijrah yang selalu kita peringati tiap tahun terletak dari sejauh mana spirit hijrah itu mampu mengubah wajah bangsa menjadi lebih berkeadaban. Inilah makna simbolis dibalik hijrah.***
** Penulis, aktif di DMI dan MUI Provinsi Jawa Barat, mahasiswa program doktor Unpad Bandung.
Jum’at, 26 Desember 2008, · PR Online